Di riwayatkan bahwa, Umar Bin Abdul Aziz ketika
menjadi khalifah, pernah di guncang oleh timbulnya pemberontakan yang sangat
dahsyat. Bughat (2= adalah pemberontak suatu pemerintahan yang sah, dalam
istilah sekarang di kenal dengan gerakan mekar yang di takuti oleh suatu
pemerintahan atau negar.) -kaum pemberontak-,
bertindak sangat kejam tehadap rakyat jelata. Oleh karen itu, pemerintah
bertekat untuk memberantas pemberontakan itu sampai tuntas. Para pemberontak
tidak mau menyerahkan diri. Apabila tertangkap mereka akan di jatuhi hukuman
mati. Hal itu sudah menjadi keputusan pemerintah.
Suatu ketika, seorang pemberontak kedapatan
tertangkap. Pemberontak itu di jatuhi hukuman pancung pun akan segera
dilangsungkan. Rakyat berduyun-duyun ingin menyaksikan pelaksanaan hukuman
pancung itu dengan harap-harap cemas.
Berdasarkan
peraturan, sebelum pelaksanaan hukuman pancung tersebut di mulai, kepada si
terhukum di berikan kesempatan untuk menyampaikan permohonan terakhir, sebelum
maut merenggut nyawanya.
“ Hai
pemberontak yang berhati kejam, engkau aku beri kesempatan untuk mengajukan
permohonan terakhir. Sampaikan apa keinginanmu sebelum hukuman atas dirimu di
aksanakan! “ kata khalifah UmarBin Abdul Aziz.
“
tirmakasih , wahai amirun mukminin.” Jaawab pemberontak itu. “ aku hanya
menginginkan segelas air putih.”
“
hanya itu permintaan terakhirmu?” khalifah bertanya keheranan.
“
benar tuanku.”
“
baiklah aku penuhi permitaan itu,” ucap khalifah, seraya memerinth kan salah
seorang pengawal untuk mengambil segelas air putih umtuk di berikan kepada
pemberontak terhukum yang tidak lama lagi akan menerima eksekunsi hukuman
pancung.
Segels
air itu di berikan itu di terimanya dnegan tangan kanannya.
“
apakah khalifah bersedia berjanji? Apabila air yang ada dalam gelas ini belum
aku minum, khalifah tidak akan memerintahkan algojo untuk meleksanakan hukuman
atas diriku? Kata pemberontak itu.
Ya aku bersedia berjanji. Jika air dalam gelas
itu belum engkau minum, hukuman tidak akan di laksanakan Khlifah Umar Bin Abdul
Aziz memberi jsminan.
Mendengar
janji khalifah itu, tiba-tiba si pemberontak membuang air di gelas itu sampai
habis.
“
janji adalah sutu yang harus ditepati. Ukankah demikian wahai Amirun Mukminin?”
kata pemberontak itu.
“ Ya. Janji itu memang harus di
tepati. Itu adalah keadilan.” Jawab Khalifah Umar Bin Abdul Aziz yang masih
belum paham apa yang di maksud pemberontak itu dengan perbuatanya yang di
anggap tidak waras. Ia telahmembuang air dalam gelas yang baru saja di
mintanya.
“ Bukankah tadi Khalifah Umar Bin
Abdul Aziz telah berjanji? Jika air dalam gelas itu belum aku minum, tuan ku
tidak akan melaksanakan hukuman terhadap
ku? Air itu telah aku tumpahkan, dan sekarang telah kering di tanah, sehingga
aku tidak bisa meminum air itu. Berarti Khalifah tidak akan bisa melaksanakan
hukuman sesuai dengan janji khalifah tadi.” Ucap pemberontak itu dengan licik.
Mendegar itu Khalifah mengerutkan
keningnya untuk beberapa saat kemudian Khaliifah tersenyum. Dan lalu
membebaskan pemberontak tersebut dari hukuman pancung.
Pada kesempatan lain. Kembali seorang
pemberontak tertangkap. Dengan muka menahan marah, khalifah memerintahkan umtuk
segera meng hukum pemberontak itu dengan hukuman pancung.
Menjelang hukuman mati di laksanakan,
tiba-tiba pemberontak itu menagis tersedu-sedu. Dengan wajah sinis Khalifah
mencemoohnya.
“ mengapa engkau menangis? Seorang
pemberontak yang katanya gagahberani, ternyata menangis ketika menghadapi
hukuman mati. Apakah engkau searang sudah menjadi tikus yang pengecut?”
“ Demi Alllah, wahai Amirul Mukminin,
aku menangis bukan karena takut mati. Kematian udah menjadi. Ketenttuan Tuhan.
Mati pasti akan ditemui siapapun yang masih hidup.” Sahut pemberontak itu.
“ lalu mengapa engkau menagis?”
“ aku menangis karena aku mati di
saat Khalifah sedang marah. Aku menyesal sekali. Bukankah orang yang sedang
marah, tidak di perbolehkan memutuskan sebuah hukuman?”
Mendengar jawaban itu, khalifah Umar
Bin Abdul Aziz tertunduk. Dia teringat, dalam islam penganutnya di larang melakukan
sesuatu dengan dasar nafsu amarah. Rasulullah pun melarang untuk menjatuhkan
suatu keputusan hukum ketika seorang dalam keadaan marah. Maka khalifah segera
memberikan perinah untuk membebaskan pemberontak tersebut dari hukuman pancung.
Akan tetapi walau demikian –akhirnya
dengan kegigihan yang tak mengenal lelah- khalifah dapat menumpas habis semua
pemberontak itu. Dalam penyergapan yang setrategis, pipinan pemberontak dapat
di takhlukan dan akhirnya menyerah.
Dengan di rantai, kepala pippinan
pemberontak itu di hadapkan kepada khalifah.
“ wahai Amirun Mukminin, tuan telah
di beri kemenangan sehingga sekarang aku menjadi tawanan tuan. Sebelum khalifah
menjatuhi hukuman mati terhadapku,
anugerahilah aku yang kalah ini dengan sesuatu yang melebihi kemenangan.”
Kata pimpinan pemberontak itu
“ apa maksud perkataanmu itu?” tanya
khalifah
“ berilah aku ampunan dan kesempatan
untuk bertaubat dan memperbaiki kesalahanku.”
“ tidak! Enkau dihukum justru karena
dirimu bersalah dan menolak utuk menyerah. Aku harus menegakkan keadilan.”
“ ucapan khalifah memang benar.
Tetapi, bukankah Khalifah pernah menyatakan bahwa ada yang leebih tinggi
harganya dari keadilan, yaitu memberi maaf?” kata pimpinan pemberontak
memandang wajah Khalifah dengan penuh harap. “ maka aku mohon maafkanlah aku.
Karena Allah mencintai orang yang mengasihi sesamanya. Terutama oang yang
lemah, kalah dan berdosa,serta mengakui segala kesalahanya.”
Khalifah menjadi terbungkam. Rupanya dia telah temakan
oleh ucapan pemberontak tersebut, sehingga pimpinan pemberontak itu di bebaskan
dengan harapan dapat bertaubat dan menempuh jalan yang benar di hari kemudian
SUMBER :
PINTU SURGA TELAH TERBUKA, kisah-kisah religius
dalam tradisi klasik islam